Rabu, 03 Juni 2009

Sayap-Sayap Harapan (Bag. 1)


Hari itu sangat cerah, sedikit awan tipis menjadi penghalang sinar ultraviolet yang panasnya 31 derajat celcius sehingga tidak langsung menyengat kulit yang tak lagi sawo matang. Telpon genggam Nokia N70 milik Zulkifli berdering nyaring, tertera nama yang sangat akrab baginya (Nur), “kok seharian ini dia udAh 2 kali nelpon, ada apa lagi yah?” gumamnya dalam hati. Bukan perasaan dongkol yang ada namun beribu tanya tentang kepastian dari sebuah ketidakpastian. “Assalamu aalaikum” suara diujung telpon menyapa dengan penuh kehangatan, “Waalaikum salam” jawab zulkifli, “apa kabar kak?, lagi ngapain nih, maaf yah keseringan nelpon, maklum lagi jenuh dirumah”, zulkifli tersenyum tipis “saya jawab satu-satu pertanyaannya yah dik, kabar saya hari ini Alhamdulillah baik seperti tadi terakhir kali kamu nelpon jam 10 pagi, skrg saya lagi terima telpon kamu, ada apa yah dik, hari ini kan baiknya ke mall atau keluar kota menikmati hijaunya hamparan sawah”. , suara nur yang sedikit melemah menimpali, “ maunya sih gitu kak, tapi kak edi selalu saja sibuk, katanya lagi banyak tugas Mahasiswanya yang harus diperiksa dan mesti buat resume untuk mata kuliah besok”. Zulkifli dengan tersenyum mafhum “yah kalo gitu sabar aja dik, yah wong kalo dia sibuk mau apa lagi, namanya aja kerjaan kadang tidak mau kompromi, sekarang mendingan kamu selesaikan aja dulu kerjaan dirumah, mungkin tumpukan pakaian kotor menunggu dicuci, atau lantai rumah yg seminggu penuh debu butuh dibelai dgn kain pel supaya rumahnya kelihatan bersih, mumpung kan hari libur gini, besok pasti kamu udah disibukkan lagi dengan kerjaan kantor nanti till Saturday”. Mendengar jawaban sekaligus nasehat dari Zulkifli, suara Nur yang tadi melemah tiba-tiba berubah sedikit meninggi “kalo soal itu udah ada pembantu yang urus kak, skrg saya butuh teman, butuh orang yang bisa mendengar semua keluh kesahku, problem-problemku, saya jenuh dengan semua rutinitas ini, hidupku seperti robot, senin sampai sabtu hanya berkutat dengan kondisi yang sama, aku jenuh kak, jenuh….sudahlah kak, kamu juga seperti kak edi, tdk pernah bisa memahamiku”. ..tut,tut,tut,.sambungan telpon terputus.

Zulkifli terdiam, kedua matanya tertutup sambil tertunduk dia membayangkan pemilik suara diujung telpon itu overloaded, kesal hingga menutup telpon tanpa pamit terlebih dahulu, perempuan berjilbab yang dikenalnya sangat ceria, optimis, confidence, cerdas dan senyumnya yang manis mampu meruntuhkan logika lelaki, perempuan ini dkenalnya 3 tahun yang lalu, dari sebuah proses yang serta merta tanpa direncanakan, berawal dari saudara sepupunya yang pernah meminjam handphone –tanpa seizin- zulkifli untuk menghubungi perempuan itu, melihat ada nomor yang tak terdaftar di phone book-nya, zulkifli mencoba menghubungi untuk memastikan siapa pemilik nomor tersebut, ternyata seorang perempuan bersuara sofran yang bekerja sebagai lecturer/dosen merangkap kepala bagian pelaporan keuangan di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di kota Daeng, kota yang beranjak menuju megapolitan, dengan peradaban yang serba modern.

Perempuan itu telah memasuki usia yang cukup matang untuk ukuran kedewasaan, title dibelakang namanya ada dua, menandakan bahwa dia cukup cerdas dan mapan dari ukuran rata-rata perempuan di kampung yang hanya bisa mengecap pendidikan sampai ketingkat sekolah menengah, setelah itu mereka memasuki jenjang pernikahan karena berbagai macam alasan, ada yang tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah di kota (ini motif yang sangat umum dan mayoritas), ada yang karena manut pada keinginan sang ibu yang ingin segera menggendong cucu, ada juga disebabkan oleh desakan ekonomi keluarga yang hanya bisa menanggung kebutuhan sandang pangan untuk dua orang anak. Pikiran zulkifli udah mulai menerawang jauh menembus diktum ranah social yang lebih luas, potret buram sebuah Negara yang income perhari masyarakatnya tak lebih dari 2 dollar perhari, jauh dibawah standar kelayakan hidup yang seharusnya dilevel 25 dollar perhari, sedangkan nilai inflasi tiap tahun merangkak naik hingga mendekati angka 6 %.

Zulkifli memperbaiki posisi duduknya, segelas minuman dingin dihadapannya cukup menggoda untuk diteguk, siang ini cukup panas, ukuran rumah kreditan seluas 8x9 meter persegi sepertinya semakin sumpek dengan semua pikiran-pikiran yang membuncah didadanya. Dirumah tersebut dia tinggal bersama saudara perempuannya yang berstatus PNS disalah satu sekolah menengah di Kota daeng. terkadan muncul keinginan untuk mencari tempat tinggal sendiri, tidak bergantung pada saudaranya yang sudah memiliki keluarga. namun apalah daya, gaji Zulkifli yang hanya sebagai PNS juga masih harus disisipkan untuk kredit motor dan sedikit saving untuk planning meminang sang Gadis pujaanya yang masih belum ia temukan hingga saat ini. Gaya hidup lajang dengan pengeluaran yang kadang tak terkontrol membuat Zulkifli harus merana ketika usia kalender mulai menginjak angka 15 keatas.

Nur, sebuah nama yang indah, berarti Cahaya, memang keindahannya begitu memesona, cantik, cerdas, mapan, jilbabnya selalu berwarna pink, biru dan kadang kuning, sorot matanya teduh dan bening, setiap hari senin dia selalu menolak ajakan makan siang dengan alasan lagi berpuasa. di beberapa moment ketika zulkifli menyempatkan waktu menemani Nur jalan ke mall sekedar untuk melihat terbitan baru buku-buku Islam maupun menengok koleksi tas terbaru D&G. Perempuan berjilbab dengan gaya hidup metropolis, tas yang tiap hari berganti, sepatu bermerek eropa dengan selusin koleksi. busana muslimah yang modis, sangat pas dikenakannya. beberapa kali Zulkifli merasakan aura kelembutan itu tampak orisinil dibalik sikapnya yang tegar dan kesendiriannya yang menyisakan seribu tanda tanya bagi lelaki manapun.

Seperti sebuah hukum aritmatika yang sarat kepastian, kebersamaan itu perlahan menghadirkan getar-getar rasa disanubari terdalam seorang lelaki yang hanya berstatus sebagai teman biasa, tak lebih dari itu, melawan rasa itu bagi Zulkifli adalah perjuangan terberat dalam hidupnya yang kembang kempis. Sebenarnya Nur sudah berstatus “in relationship” dengan seorang lelaki bernama Edi. Lelaki itu cukup tampan, seorang Dosen/lecturer juga di salah satu Perguruan Tinggi ternama di Kota Daeng, karirnya Edi sebagai dosen tentu selalu tak lepas dari kesibukan yang padat, senin sampai jumat di isi mengajar dikampus, sabtu dan minggu di lewatkan dengan mengajar di daerah sebagai “dosen terbang”. cukup padat, sehingga nyaris tak ada waktu untuk mengurusi kepentingan perasaan. status tersebut sudah dijalani Edi dan Nur selama lebih dari 3 tahun, bahkan telah ada ikrar bersama untuk meningkatkan status hubungan ke jenjang pernikahan, namun proses itu masih belum bisa di eksekusi secara cepat dan tepat oleh Edi. Posisi Nur sebagai seorang perempuan tentunya tak ingin menjadi eksekutor, tapi menunggu kenyataan harapan indah tersebut.

Waktu telah menunjukkan pukul 4 sore, Zulkifli tersadar dari ruang hampa petualangan pikirannya mengurai satu persatu sosok seorang Nur dan kesan indah bersamanya. “satu keputusan harus diambil hari ini, dia tdk boleh dibiarkan terpuruk dalam kejenuhannya hari ini, setidaknya cukup untuk hari ini, esok masih ada ruang harapan yang disandarkannya pada Edi, karena Edi adalah pemilik hatinya yang sesungguhnya, bukan saya” gumamnya dalam hati….. perlahan Zulkifli meraih telepon genggamnya, mencari nomor yang tadi menutup telepon dengan rasa kesal, Nur> Calling…. ‘hatiku cuma ada satu sudah untuk mencintaimu, tolong jangan sakiti lagi nanti aku bisa mati’ (suara merdu NSP/nada sambung pribadi, lirik lagu Nindi; cinta Cuma satu, mengalun berulang-ulang) “hallo, Assalamu Alaikum dik” Zulkifli menyapa Nur yang agak lama mengangkat telponnya, “Waalaikum salam kak, mohon maaf tadi kak saya udah kurang sopan langsung mematikan telpon, tadi saya tdk mampu lagi mengontrol emosi saya kak” suara lembut nan syahdu itu kembali seperti semula, sesuai dengan aslinya, Zulkifli dengan nada mafhum menjawab permohonan maaf yang tulus itu “tidak apa-apa dik, saya ngerti, itu biasa aja kok, eh,…gimana kalo sore ini kita jalan ke anjungan pantai losari, kayaknya udah lama kita nggak kesana lagi, lihat pijar warna sunset, saya rindu lihat pantulan Cahaya di riak-riak kecil ombaknya, abis itu kita dinner, gimana mau nggak???”, dengan nada riang dan setengah berteriak, Nur menjawab “mau, mau kak, saya tunggu dirumah yah kak, jemput yah kak, skalian kakak yang minta izin sama bapak”….. “ iya dik, tapi saya shalat ashar dulu,”,…….”siip deh kak, ditunggu yah, Assalamu Alaikum” Nur mengakhiri pembicaraan,..” iya dik, Waalaikumsalam”… Zulkifli menutup telepon dengan menghela nafas panjang…… dalam hati kecilnya dia berucap, “apapun statusmu dik, siapapun pemilik hatimu, saya hanya ingin membahagiakanmu, tak lebih dari itu, setidaknya senyummu telah bisa menenteramkan jiwaku, karena melihat satu bulir air mata saja dipipimu aku tak sanggup, sungguh karena aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu……”…. sayup-sayup dari tetangga sebelah terdengar alunan suara sofran lagu vokalis DERBY : Kurasa getaran jiwa disetiap tatapan matanya, andai kucoba tuk berpaling akankah sanggup kuhadapi kenyataan ini, oohh Tuhan tolonglah aku, janganlah Kau biarkan diriku jatuh cinta kepadanya, sebab andai itu terjadi akan ada hati yang terluka, Tuhan tolonglah diriku,………….

(to be continued)

Makassar, 2 Juni 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar